APAKAH Bidang keahlian atau Kompetensi Anda ingin diakui secara Nasional dan Internasional ?. Tahukah Anda bahwa pasar kerja nasional dan internasional menuntut tersedianya tenaga-kerja yang kompeten di setiap bidang, banyak industri dan organisasi mempersyaratkan agar tenaga-kerjanya memiliki sertifikasi kompetensi yang kredibel. Di berbagai negara, pemerintahnya ada juga yang menghendaki bahwa tenaga kerja yang ingin bekerja harus memiliki sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh lembaga otoritas yang diakui sah. Kompetensi kerja adalah spesifikasi dari sikap pengetahuan dan keterampilan atau keahlian serta penerapannya secara efektif dalam pekerjaan sesuai dengan standard kerja yang dipersyaratkan. Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja baik yang bersifat nasional maupun internasional. Dengan memiliki sertifikasi kompetensi K3 maka seseorang akan mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi yang dikuasainya. BNSP merupakan badan independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki kewenangan sebagai otoritas sertifikasi personil dan bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi profesi bagi tenaga kerja.
Pelatihan ini adalah untuk mempersiapkan peserta untuk memperoleh sertifikat Kompetensi Studi HAZOP dari BNSP. Pelatihan persiapan sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) KOMPETENSI Studi HAZOP dirancang berbasis kompetensi (Competency Based Training) yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) K3. Untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi, para peserta training akan diuji oleh assessor dari LSK-K3 (Lembaga Sertifikasi Kompetensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja). LSK-K3 didukung oleh KEMENAKERTRANS melalui surat resmi dari Direktur Jendral BINWASNAKER NOMOR B-710 tertanggal 31 DESEMBER 2008 Untuk terwujudnya sertifikasi kompetensi K3 di Indonesia dalam menghadapi era persaingan global / AFTA.
Latar Belakang:
Hazard operability study atau HAZOP adalah merupakan salah satu teknik identifikasi dan analisis bahaya yang digunakan untuk meninjau suatu proses atau proses pada sebuah sistem secara sistematis. Selain itu HAZOP juga dapat digunakan untuk menentukan apakah penyimpangan dalam suatu proses dapat mendorong kearah kejadian atau kecelakaan yang tidak diinginkan. Karakteristik HAZOP yang utama adalah sistematik, menggunakan struktur dan susunan yang tinggi dengan mengandalkan pada guide word dan gagasan tim untuk melanjutkan serta memastikan safe guard sesuai atau tidak dengan tempat atau objek yang sedang di kaji.
Sasaran dan Manfaat Training:
Peserta diharapkan akan memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memahami dan menerapkan konsep HAZOPs,
Peserta mampu melakukan analisis bahaya dan penilain risiko ditempat kerja dengan metode/teknik HAZOPs
Peserta mampu mengembangkan sistem pengendalian bahaya dan risiko di perusahaan.
Siapa Yang Harus Hadir :
Process Engineer
Instrument Engineer
Electrical Engineer
Mechanical Engineer
Staf/Manager Produksi, Lab, Gudang dan Maintenance Engineering
Staf/Manager K3
Persyaratan Peserta:
No
Penididikan Minimal
HAZOP Study
1
D3 Teknik
Memiliki pengalaman diunit operasi minimal 2 tahun
Fasilitator :
Sr. Trainer HSP Academy yang sangat berpengalaman dalam bidang Study HAZOP
Outline :
Pengenanlan HAZOPs
Teknik Analisa Bahaya Proses
Teknik HAZOPs
Metode dan Prosedur HAZOPs
Latihan / Praktek HAZOPs
Fasilitas:
Hard / Soft Copy Materi Training
Sertifikat Training dari BNSP
ID Card Kompetensi dari BNSP
Sertifikat Training HSP
Gimmick
2x coffee break
Makan Siang
Jadual Training:
3 Hari + 1 hari Ujian
Tempat Training :
HSP Academy Training Center – Gading Serpong – Tangerang
Kami memiliki 11 ruang kelas dengan kapasitas 3-20 orang
Ruangan nyaman (Ada AC, projector, flip chart, tempat charger HP, meja dan kursi belajar yang ergonomis).
Parkir gratis
Antar jemput dari hotel sekitar gading serpong
Investasi:
Pendaftaran peserta : Rp. 6,000,000,- (Enam Juta Rupiah)
Untuk pendaftaran atau informasi lebih lengkap, silahkan hubungi
APAKAH Bidang keahlian atau Kompetensi Anda ingin diakui secara Nasional dan Internasional ?. Tahukah Anda bahwa pasar kerja nasional dan internasional menuntut tersedianya tenaga-kerja yang kompeten di setiap bidang,banyak industri dan organisasi mempersyaratkan agar tenaga-kerjanya memiliki sertifikasi kompetensi yang kredibel. Di berbagai negara,pemerintahnya ada juga yang menghendaki bahwa tenaga kerja yang ingin bekerja harus memiliki sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh lembaga otoritas yang diakui sah. Kompetensi kerja adalah spesifikasi dari sikap pengetahuan dan keterampilan atau keahlian serta penerapannya secara efektif dalam pekerjaan sesuai dengan standard kerja yang dipersyaratkan. Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja baik yang bersifat nasional maupun internasional. Dengan memiliki sertifikasi kompetensi K3 maka seseorang akan mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi yang dikuasainya. BNSP merupakan badan independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki kewenangan sebagai otoritas sertifikasi personil dan bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi profesi bagi tenaga kerja.
Pelatihan ini adalah untuk mempersiapkan peserta memperoleh sertifikat KOMPETENSI Ahli K3 Umum Muda dari BNSP. Pelatihan persiapan sertifikasi KOMPETENSI Ahli K3 Umum Muda yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertfikasi Profesi (BNSP) dirancang berbasis kompetensi (Competency Based Training) yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) K3. Untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi,para peserta training akan diuji oleh assessor dari LSK-K3 (Lembaga Sertifikasi Kompetensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja). LSK-K3 didukung oleh KEMENAKERTRANS melalui surat resmi dari Direktur Jendral BINWASNAKER NOMOR B-710 tertanggal 31 DESEMBER 2008 Untuk terwujudnya sertifikasi kompetensi K3 di Indonesia dalam menghadapi era persaingan global / AFTA.
Latar Belakang Training Ahli K3 Umum Muda:
Persaingan global menuntut pelaku industry di Indonesia untuk lebih meningkatkan pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Perusahaan-perusahaan kelas dunia bahkan sudah menjadikan indikator keberhasilan K3 sebagai salah satu faktor yang bisa meningkatkan daya saing dalam pasar global. Keberhasilan peningkatan pelaksanaan program K3 didalam perusahaan tentu tidak bisa dilepaskan dari kemampuan atau kompetensi pelaksana program K3 tersebut. Ahli Umum K3 yang memiliki kompetensi sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) K3 sangatlah dibutuhkan untuk menjamin penerapan K3 secara efektif dan tepat.
HSP academy dapat membantu perusahaan anda dalam meningkatkan kompetensi K3 personel K3 di tempat anda sesuai dengan SKKNI K3. Pelatihan ini dirancang berbasis kompetensi yang mengacu kepada SKKNI K3 dan disertifikasi oleh Badan Sertifikasi Nasional Profesi (BNSP)
Sasaran Training Ahli K3 Umum Muda:
Menghasilkan ahli K3 Umum Muda yang memiliki kompetensi K3 sesuai dengan SKKNI K3.
Peserta diharapkan memahami peraturan perundangan K3 yang berlaku.
Peserta mampu membantu penerapan sismtem manajemen K3.
Peserta mampu melakukan identifikasi bahaya dan risiko ditempat kerja.
Peserta mampu menerapkan pengendalian bahaya dan risiko ditempat kerja.
Process Safety Management (PSM) adalah merupakan suatu regulasi yang di keluarkan oleh U.S. Occupational Safety and Health Administration (OSHA), tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau kejadian seperti kasus Bhopal di India pada tahun 1984. OSHA mengusulkan suatu standar yang mengatur cara penanganan bahan-bahan kimia berbahaya dan membuat suatu program secara komprehensif dan terintegrasi ke dalam proses teknologi, prosedur dan manajemen praktis. Kemudian OSHA mengeluarkan suatu regulasi tentang penanganan, penggunaan dan proses bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya untuk Indistri yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Sistem ini sangat efektif untuk mengendalikan bahaya proses pada berbagai industri untuk mencegah terjadinya kecelakaan katastropik.
Ismet Somad, Ir., Msc.Eng. Sarjana Teknik Kimia, Master in Process Safety & Loss Prevention (lulus dengan ‘distinction’) dari University of Sheffield UK. Pendidikan Fire & Safety Engineering di Texas A&M University Texas (6 bulan). Pengalaman sebagi profesional 25 Tahun: Bagian Inspeksi Teknik PT Pusri Palembang, Bagian produksi PT Pusri dan Kilang Direktorat pengolahan Pertamina, Kepala Bagian Process Engineering dan safety engineering PT Pertamina, Operational Safety Advisor (sejak 1991), Manajer HSE Pertamina (sejak 2003), dan Vice President HSE Korporat Pertamina s/d 2010), profesional Trainer dan Consultant untuk HSE (sejak 2005), Executive Director Lembaga sertifikasi Profesi K3 (not for profit) dan asesor kompetensi K3, Dosen tidak tetap bidang Safety culture & Behaviour untuk S1 dan S2 Universitas Binawan (sejak 2010). Berpengalaman dalam menerapkan perubahan perilaku dan budaya K3 secara intensif didalam perusahaan sejak tahun 2008 bersama konsultant HSE Internasional, dan sebagai tim Corporate Culture PT Pertamina di Balikpapan. Pembicara seminar didalam dan diluar negeri bersama para pakar Safety Internasional.
Outline :
Introduction to PSM and its origins and goals
Overview of PSM standards and regulations world-wide, definitions, compliance interpretations
Elements of PSM:
Human error basics
Elements missing from most PSM systems, including specific human factor aspects, management commitment & accountability, and project risk management
Employee participation
Trade secrets
Process safety information
Operating procedures
Hot work permit/safe work
Training
Contractors
Process hazard analysis
Management of change
Mechanical integrity
Pre-startup safety review
Emergency planning and response
Incident investigation
Compliance auditing
Key Performance Indicators, Leading Indicators, and Tracking
Summary of roles and responsibilities
Developing PSM programs and implementation planning
Best Practice Sharing
Fasilitas:
Hard / Soft Copy Materi Training
Sertifikat Training
2x coffee break
Makan Siang
Jadwal Training:
11 – 12 Desember 2012
11 – 12 February 2013
27 – 28 May 2013
4 – 5 September 2013
Tempat :
Jakarta –HSP Academy Training Center (Jika peserta maksimal 14 orang)
Jakarta –Hotel Ibis,Aston Sumarecon,Grand Zuri BSD (Peserta lebih minimal 15 orang)
Minimal peserta untuk dapat running 4 orang.
Investasi :
Pendaftaran peserta : Rp. 3,500,000,- (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
Untuk pendaftaran atau informasi lebih lengkap, silahkan hubungi
Pekerja bisa terkena bahaya yang dapat menciderai mata dan wajah. OSHA mewajibkan manajemen untuk memastikan mata dan wajah pekerja terlindungi dari potensi bahaya ditempat kerja dengan menggunakan alat pelindung mata dan wajah yang tepat. Bahaya yang dapat mengancam mata dan wajah adalah seperti partikel yang berterbangan, bahan kimia cair, logam cair, bahan kimia asam atau basa, bahan kimia menguap dan gas serta radiasi cahaya. Banyak kejadian kecelakaan kerja yang melukai mata atau wajah akibat pekerja tidak menggunakan alat pelindung mata dan wajah atau menggunakan dengan cara yang tidak benar. Oleh karena itu manajemen perusahaan harus memastikan ketersediaan alat pelindung mata dan wajah yang sesuai dengan bahaya yang terdapat pada masing-masing area kerja.
Salah satu yang sering menjadi permasalahan didalam penggunaan alat pelindung mata adalah bagi pekerja yang menggunakan kacamata positip atau negatip (kacamata resep). Banyak perusahaan yang membolehkan menggunakan kacamata resep tanpa ditambah dengan kacamata pelindung (safety). Ada juga perusahaan yang memaksa pekerja menggunakan kacamata safety yang tidak bisa digunakan secara bersamaan dengan kacamata resep dan memaksa menanggalkan kacamata resep sehingga mengganggu penglihatan sipekerja. Kedua cara tersebut tidak dapat dibenarkan, menggunakan kacamata resep tanpa kacamata safety adalah berbahaya karena kacamata resep bukan kacamata pelindung, demikian juga menanggalkan kacamata resep dan memakai kacamata safety juga membahayakan karena mengganggu penglihatan pekerja. Oleh karena itu pihak manajemen perusahaan harus menyediakan kacamata pelindung yang bisa digunakan bersamaan dengan kacamata resep bagi pekerja yang membutuhkannya. Bahkan ada pemasok kacamata safety yang menyediakan kacamata pelindung yang bisa disatukan dengan kacamata resep.
Jenis-Jenis Alat Pelindung Mata dan Wajah
Dalam memilih jenis alat pelindung mata dan wajah yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pekerja harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
Kemampuan alat tersebut untuk melindungi dari bahaya ditempat kerja yang spesifik.
Kesesuaian dan kenyamanan untuk digunakan.
Memberikan pandangan yang jelas dan keleluasaan bergerak yang tidak dibatasi.
Tahan lama dan mudah dibersihkan.
Secara fungsi dapat digunakan dengan APD lain jika diperlukan.
Sebaiknya membeli alat pelindung mata dan wajah dari pemasok yang sudah memiliki reputasi baik dan memiliki standar dalam penyediaan APD. Standar yang paling banyak digunakan dan direkomendasikan oleh OSHA adalah standar ANSI (American National Standard Institute) dengan nomor ANSI Z87.1-1989. Beberapa jenis alat pelindung mata dan wajah adalah sebagai berikut:
Kacamata Safety; bahan kacamata ini memiliki kemampuan untuk melindungi mata dengan lensa yang tahan benturan dan frame dari palstik atau logam. Beberapa model memiliki perisai samping (Lihat gambar 1).
Goggles; adalah kacamata pelindung yang menutupi semua area disekitar mata. Goggles dapat melindungi mata dari debu dan percikan bahan kimia cair. Goggles juga bisa digunakan bersamaan dengan kacamata resep karena disainnya yang lebih besar (lihat gambar 2).
Perisai Pengelasan (Welding); umumnya dibuat dari fiberglass dan dilengkapi dengan lensa saring sehingga bisa melindungi mata dari luka bakar akibat radiasi sinar inframerah yang berasal dari pengelasan, perisai ini juga dapat melindungi wajah dari percikan api dan logam panas dari pengelasan. OSHA mensyaratkan lensa filter memiliki nomor peneduh (shade number) yang bisa diatur sesuai dengan radiasi sinar pada saat pengelasan (lihat gambar 3).
Kacamata Pengaman Laser; kacamata ini khsusus dibuat untuk melindungi mata dari sinar laser. Pemilihan jenis kacamata ini tergantung pada peralatan dan kondisi operasi ditempat kerja.
Perisai Wajah; terbuat dari lembaran plastic transparan yang dapat menutupi semua wajah yang dapat melindungi semua wajah dari percikan atau semprotan cairan atau debu berbahaya. Tetapi perisai wajah tidak dapat melindungi dari bahaya benturan dan karena itu harus digunakan bersamaan dengan kacamata safety untuk perlindungan terhadap benturan (lihat gambar 4).
Setiap jenis pelindung mata dan wajah tersebut dirancang untuk melindungi dari bahaya secara specific, oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi bahaya sebelum menentukan jenis alat pelindung mata dan wajah yang diperlukan.
Process Safety Management (PSM) adalah merupakan suatu regulasi yang di keluarkan oleh U.S. Occupational Safety and Health Administration (OSHA), tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau kejadian seperti kasus Bhopal di India pada tahun 1984. OSHA mengusulkan suatu standar yang mengatur cara penanganan bahan-bahan kimia berbahaya dan membuat suatu program secara komprehensif dan terintegrasi ke dalam proses teknologi, prosedur dan manajemen praktis. Kemudian OSHA mengeluarkan suatu regulasi tentang penanganan, penggunaan dan proses bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya (Title 29 of CFR Section 1910.119).
PSM ini awalnya dibuat untuk melindungi sejumlah industri yang ditandai dengan kode SIC, dimana prosesnya melibatkan lebih dari 5 ton bahan mudah terbakar dan 140 bahan beracun dan reaktif. Secara garis besar persyaratan yang dibuat oleh OSHA PSM adalah sebagai berikut:
Melakukan analisa bahaya proses di tempat kerja untuk mengidentifikasi dan mengontrol bahaya dan meminimalkan konsekuensi dari kecelakan yang sangat parah atau fatal.
Menyesuaikan kontrol rekayasa terhadap fasilitas dan peralatan produksi, proses, dan bahanbakuuntuk mencegah kecelakaan yang fatal.
Mengembangkan sistem manajemen kontrol untuk mengendalikan bahaya, melindungi lingkungan dan memberikan keselamatan dan kesehatan terhadap pekerja.
Membuat administrasi kontrol untuk perubahan fasilitas, prosedur operasi, keselamatan kerja, training dan sebagainya untuk meningkatkan kesadaran pekerja terhadap keselamatan kerja.
Melakukan audit berkala untuk mengukur efektifitas PSM standar.
Elemen-elemen yang terdapat dalam OSHA PSM adalah sebagai berikut:
1. Process Safety Information
Membuat prosedur informasi keselamatan mengenai identifikasi bahaya kimia dan proses di tempat kerja, peralatan yang digunakan dan teknologi proses yang digunakan.
2. Process Hazard Analysis
Melakukan kajian bahaya di tempat kerja, termasuk identifikasi potensi sumber kecelakaan dan kejadian kecelakaan yang pernah terjadi serta memperkirakan dampak terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja.
3. Operating Procedures
Mengembangkan dan mengimplementasikan prosedur operasi untuk proses kimia, termasuk prosedur untuk masing-masing tahap operasi, batasan operasi dan pertimbangan keselamatan dan kesehatan.
4. Employee Participation
Melakukan konsultasi atau diskusi dengan pekerja atau perwakilan pekerja dalam mengembangkan dan melakukan kajian bahaya di tempat kerja, perencanaan pencegahan kecelakaan dan memberikan akses terhadap standar yang dibutuhkan.
5. Training
Semua pekerja baik lama atau baru harus di training mengenai prosedur operasi, prosedur keselamatan, prosedur emergensi dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan di tempat kerja.
6. Contractors
Memastikan kontraktor dan karyawan kontrak diberikan informasi dan training yang sesuai.
7. Pre-Startup Safety Review
Melakukan pre-startup review pada semua peralatan yang baru di install atau dimodifikasi.
8. Mechanical Integrity
Membuat system perawatan untuk peralatan-peralatan yang kritikal, termasuk prosedur tertulis, pelatihan pekerja, inspeksi dan pengujian untuk memastikan semua peralatan berjalan baik.
9. Hot Work Permit
Hot work permit harus dikeluarkan atau digunakan untuk bekerja diarea panas.
10. Management of Change
Membuat prosedur yang mengatur perubahan atau modifikasi proses, teknologi, peralatan, bahanbakudan prosedur kerja.
11. Incident Investigation
Melakukan investigasi terhadap semua potensi kecelakaan yang berpotensi atau dapat mengakibatkan kecelakaan besar di tempat kerja.
12. Emergency Planning and Response
Memberikan training atau pelatihan kepada pekerja dan kontraktor dalam menghadapi keadaan darurat.
13. Compliance Audits
Melakukan review secara berkala terhadap kajian bahaya ditempat kerja dan sistem tanggap darurat.
14. Trade Secret
Menyediakan informasi kepada petugas yang bertanggung jawab atau diberi wewenang yang berkaitan dengan bahaya proses, kimia, procedur operasi dan lain-lain yang dibutuhkan termasuk informasi rahasia dagang jika diperlukan.
PSM standar adalah merupakan suatu regulasi yang didasarkan pada kinerja dan pelaksanaannya sangatlah fleksibel, dapat disesuaikan atau dikembangkan sesuai dengan situasi masing-masing perusahaan. Hal ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi dari regulasi tersebut antara perusahaan-perusahaan dengan OSHA’s Compliance Safety and Health Officers (CSHOs), sehingga menimbulkan kesalah pahaman dalam pelaksanaannya. Untuk menanggulangi hal tersebut OSHA mengeluarkan pedoman pelaksanaan untuk PSM standar. Pedoman yang pertama dikeluarkan tahun 1992 yaitu CPL 2-2.45A. Pedoman ini memasukkan informasi mengenai:
– Pendekatan OSHA dalam melakukan inspeksi pelaksanaan
– Kriteria untuk menyeleksi fasilitas untuk diinspeksi
– Pedoman audit PSM termasuk audit checklist.
– Klarifikasi dan interpretasi dari PSM standar.
– Daftar acuan untuk kesesuaian pelaksanaan dengan PSM standar.
– Pedoman untuk persiapan inspeksi.
Pada tahun 1994, OSHA kembali mengeluarkan pedoman untuk melengkapi pedoman sebelumnya, yaitu CPL 2-2.45A CH-1. Dalam pedoman ini ditambahkan klarifikasi teknis mengenai jadual inspeksi, update pedoman dan pertanyaan mengenai keselamatan kontraktor dan yang lebih penting adalah klarifikasi dan interpretasi mengenai standar tersebut.
Leadership atau kepemimpinan adalah sesuatu yang dimulai dari atas kebawah. Pemimpin berbeda dengan manajer, manajer adalah kedudukan jabatan dalam suatu organisasi yang mengurus segala aspek manajerial. Tidak semua manajer bisa menjadi pemimpin, namun pemimpin yang baik harus mampu melakukan aspek manajerial. Dalam aspek K3, semua pihak disemua area organisasi memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, karena kepemimpinan terkait dengan cara pandang dan sikap pemimpin terhadap segala aspek yang menjadi tanggung jawabnya. Kepemimpinan sulit diukur dan ditetapkan kriterianya, sehingga tidak ada persyaratan dalam SMK3. Tetapi bukan berarti hal tersebut dapat diabaikan, karena SMK3 terkait langsung dengan pekerja. Disini kita akan membahas segi kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam SMK3. Sekali lagi kepemimpinan tidak dipersyaratkan baik oleh OHSAS 18001 ataupun SMK3 Permenaker. Jadi tidak ada kewajiban untuk menerapkannya dalam SMK3, akan tetapi kepemimpinan sangat penting untuk menunjang kesuksesan pelaksanaan SMK3, meskipun tanpa kepemimpinan SMK3 masih tetap dapat dijalankan, namun hanya dalam bentuk sebatas retorika tanpa ada perbaikkan.
Berikut akan dijelaskan elemen-elemen dasar kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam SMK3:
Komunikasi yang jelas, transparan dan memiliki visi yang jauh kedepan. SMK3 harus dikomunikasikan secara jelas, sederhana dan terdapat pengembangan visi. Manajemen puncak bertanggung jawab untuk mengembangkan visi dan memastikan pesan yang dibuat jelas dan dimengerti oleh semua pihak. Disamping adanya kebijakkan K3, menajemen puncak dapat mengembangkan sendir istilah-istilah yang secara spesifik memeberikan arahan dan tindakan yang dapat dilakukan sesuai dengan tinkat personel di dalam perusahaan. Misalnya, ”Safety adalah prioritas utama”. Istilah ini sangat sederhana tetapi siapapun yang membacanya akan dapat memahami dan mengingatnya disaat melakukan aktifitas kerja.
Rencana yang ringkas, jelas untuk mencapai visi. Manajemen puncak bertanggung jawab untuk memastikan penyusunan manual sistem manajemen K3 yang terdiri dari penjelasan singkat struktur dan program SMK3 yang telah dilakukan. Untuk setiap manajemen K3, sebaiknya terdiri dari: alur yang dapat dipahami, matriks tanggung jawab yang jelas, dan indikator pengukuran kinerja (KPI). Manajemen puncak dapat menunjuk siapa saja yang diberi tanggung jawab menerapkan program tersebut.
Secara aktif ikut mendukung dan terlibat dalam pencapaian program. Ini mencakup setting standar kinerja bagi manajer dan supervisor pada aktifitas seperti safety patrol, investigasi kecelakaan, diskusi kelompok K3 dan proyek-proyek khusus. Para manajer dan supervisor secara aktif menyingkirkan berbagai hambatan, mempromosikan pentingnya K3 disamping kualitas dan produktifitas, dan berpartisipasi dalam inspeksi, investigasi, dan lain-lain.
Dapat mempertanggungjawabkan semua program K3 kepada semua level didalam perusahaan. Ini memerlukan keterlibatan aktif semua pihak dengan memberikan peluan yang luas bagi staff untuk memberikan masukkan dan menerima tanggung jawab K3. Hal ini sangat penting dan menunjukkan bahwa standar K3 dan aturannya diketahui, ditaati bersama-sama, dan bila ada pelanggaran, diperkuat dengan tindakkan pendisiplinan.
Mengintegrasikan elemen K3 kedalam fungsi inti pengelolaan bisnis. K3 jangan dianggab sebagai tambahan pekerjaan, atau menjadi sistem diluat aktifitas sehari-hari. K3 harus menjadi bagian dari setiap pekerjaan. Organisasi yang berkomitmen kuat kepada K3 memiliki batas yang luas bagi SMK3 didalam organisasinya. Bentuk yang biasa dilakukan adalah dengan mengintegrasikan SMK3 kedalam sistem manajemen lainnya seperti ISO 9001 dan ISO 14001.
Komitmen kepada K3 sebagai prioritas. Memiliki SMK3 yang meliputi banyak hal, terstruktur, dan adanya proses dalam meningkatkan kompetensi sumberdaya manusianya merupakan sebuah pesan bahwa K3 menjadi prioritas didalam organisasi. Pelatihan sebaiknya tidak dipandang sebagai pengganti tapi sebagai tambahan untuk keterlibatan. Pemimpin dalam K3 mengambil setiap peluang dalam memperkuat SMK3, dan menemukan dukungan, keterlibatan pekerja dan mengakui hal tersebut sebagai prestasi positif mereka.
Fokus pada perbaikkan berkelanjutan (continous improvement) dari sistem manajemen K3. Mengelola SMK3 adalah sama dengan mengelola produktivitas, kualitas atau area-area lain dalam organisasi. Peningkatan dan perbaikkan sistem dapat dijadikan sebagai bagian dari aktifitas sehari-hari.
Noise didefinisikan sebagai suara bising yang dihasilkan dari getaran nonperiodik diudara atau secara lebih umum dapat didefinisikan sebagai suara yang tidak diinginkan. Noise atau bising dapat menimbulkan gangguan emotional baik secara sadar atau tidak sadar. Misalnya bisa menimbulkan kemarahan, mengganggu perhatian atau konsentrasi, menimbulkan frustasi dan bisa menyebabkan tekanan secara fisiologis dan psikologis.
Efek dari noise dapat dikategorikan sebagai berikut:
Noise yang dapat menyebabkan kehilangan pendengaran
Efek nonauditory kesehatan
Efek terhadap perilaku individu
Efek kebisingan terhadap tidur
Komunikasi interferensi
Efek pada binatang
Kerusakkan pada pendengaran umumnya dapat terjadi jika terpapar terhadap noise pada intensitas yang melebihi nilai ambang batas dan waktu yang lama. Kehilangan pendengaran dapat bersifat permanen atau sementara. Secara umum diyakini bahwa paparan singkat terhadap kebisingan dapat menyebabkan gangguan pendengaran sementara. Namun jika paparan terhadap kebisingan dalam jangka waktu yang lama atau berulang-ulang dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Kehilangan pendengaran pada rentang frekuensi tinggi dapat mempengaruhi pemahaman berbicara, karena mendengar pada frekuensi yang lebih tinggi diperlukan untuk membedakan konsonan bicara dari pembicara.
Yang menjadi masalah adalah bukti untuk mendukung efek nonauditory kesehatan mungkin tidak selengkap seperti halnya kasus gangguan pendengaran. Padahal noise dapat mengubah fungsi normal endokrin, kardiovaskular dan sistem saraf, dan semua itu bisa mempengaruhi keseimbangan dan naiknya tekanan darah, mengubah irama detak jantung dan penyempitan pembuluh darah.
Efek kebisingan pada perilaku mulai dari berkurangnya atau melambatnya respons pendengaran yang dapat menyebabkan frustasi sampai pada sifat yang sensitif terhadap gangguan yang biasanya dapat diabaikan. Kinerja juga dapat dipengaruhi oleh kebisingan, terutama pekerjaan mengumpulkan informasi atau menganalisis proses. Namun belum bisa dipastikan apakah efek noise terhadap perilaku bersifat permanen atau tidak.
Tidur merupakan proses regeneratif tubuh, maka setiap gangguan terhadap tidur akan mempengaruhi kesehatan emosional dan fisik secara langsung. Perubahan pola tidur dapat mempengaruhi kesehatan jangka panjang dan akibatnya mempengaruhi kinerja.
Kebisingan tidak hanya ditempat kerja, tapi hampir bisa ditemukan dimana-mana. Kemajuan teknologi telah menciptakan sumber noise atau bising, seperti halnya kereta api, mobil, motor, mesin-mesin rumah tangga seperti mixer, blender, TV, radio, musik, handphone, mesin pemotong rumput, mesin gergaji, mesin bor, dan lain-lain. Sumber kebisingan diluar area kerja seringkali dibiarkan terbuka dan orang-orang sekitarnya tidak dilindungi. Gambar 1 memperlihatkan level kebisingan dari beberapa peralatan sumber kebisingan. Lain halnya dengan kebisingan ditempat kerja, pada umumnya sumber kebisingan dikendalikan atau pekerja yang terpapar dapat dilindungi dengan APD seperti ear plug atau ear muf, bisa juga dengan mengatur jadual istirahat sehingga tidak terpapar secara terus menerus.
Gambar 1. Noise Level (dB)
Suara adalah hasil dari sumber suara yang menggetarkan media penghantar sehingga getaran tersebut sampai ke reseptor atau penerima suara, biasanya medianya adalah udara dan reseptornya adalah telinga. Berdasarkan karakteristik suara, saraf sensorik menghantarkan sinyal suara tersebut ke otak dan otak akan menyimpulkan apakah itu suara yang diinginkan atau suara yang tidak diinginkan (noise). Getaran dari udara menghantam gendang telinga dan ossicles (lihat gambar 2), ossicles menghasilkan getaran yang mengalir kedalam organ indera telinga bagian dalam, koklea. Getaran ini ditransduksikan oleh sensor sel-sel rambut ke impuls saraf. Kemudian otak menterjemahkan impuls ini mejadi suara. Sel-sel rambut bersifat tidak generatif, artinya jika terjadi kerusakan sel-sel rambut maka terjadi kehilangan pendengaran.
Gambar 2. Telinga Manusia
Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi rendah jika dibandingkan dengan frekuensi tinggi. Sebagai contoh suara dengan frekuensi 50 Hz tone pada 70 dB sama kerasnya terdengar dengan 1000 Hz tone pada 40 dB. Equal loundness counter pada gambar 3 menunjukkan bahwa jika level suara (sound level) meningkat maka telinga atau pendengaran akan lebih cendrung sensitif secara merata terhadap semua frekuensi.
Gambar 3. Normal equal-loudness contours for pure tones
Pada aplikasi industri, noise dapat dikendalikan secara teknis atau enjinering kontrol. Secara garis besar masalah kebisingan dapat dibagi menjadi tiga bagian:
Sumber emisi dari energi suara.
Jalur perpindahan energi suara
Penerima suara
Sistem pengendalian kebisingan juga harus didasarkan kepada tiga masalah tersebut diatas. Sistem pengendalian juga harus efektif baik secara sistem maupun ekonomi. Maka sistem pengendalian juga harus mengandung tiga unsur berikut;
Pengurangan energi suara yang dilepaskan dari sumber.
Pengurangan sumber energi sepanjang jalur perpindahan.
Perlindungan terhadap sipenerima.
Sebelum sistem perlindungan kebisingan dirancang, sebaiknya dilakukan investigasi terhadap hal-hal berikut terlebih dahulu untuk memastikan sumber penyebab kebisingan yang tidak perlu:
Maintenance dan preventive
Perubahan prosedur operasional
Optimalisasi proses
Relokasi peralatan
Kontrol administratif
Ruang aplikasi
Penggantian peralatan.
Kenapa hal tersebut sebaiknya dilakukan terlebih dahulu? Karena bisa saja penyebab kebisingan adalah karena buruknya perawatan terhadap mesin atau peralatan produksi. Biasanya mesin yang tidak dirawat dengan baik bisa menjadi tidak efesien sehingga menimbulkan energi kebisingan yang lebih tinggi. Pada umumnya yang menjadi penyebab pemborosan energi dan sumber kebisingan diantaranya adalah hal-hal seperti berikut:
Kebocoran uap (steam)
Slipping belts
Bearing yang sudah aus
Gears yang sudah aus
Belt yang tidak selaras
Perputaran part yang tidak seimbang
Part yang kurang pelumas
Kesalahan pemasangan mesin
Kontak antara bagian yang bergerak dengan tidak bergerak
Kebocoran udara tekan
Kegetaran logam atau lempengan logam
Penyambungan yang tidak pas
Masih banyak lagi hal-hal yang dapat menjadi sumber kebisingan dan pemborosan energi.
Disini terlihat bahwa perawatan atau maintenance suatu peralatan menjadi sangat penting. Jika ditemukan part-part yang sudah tidak layak digunakan maka sebaiknya segera diganti sebelum merambat kebagian lain. Jika kerusakkan sudah menyebar kesemua bagian mesin maka mesin harus diganti. Penggantian mesin tentu saja akan membutuhkan investasi yang jauh lebih besar dari pada biaya yang dibutuhkan untuk program maintenance. Ditambah lagi dengan pemborosan energi, hasil proses yang tidak optimal dan efek kebisingan yang semua itu merupakan kerugian yang seringkali tidak diperhatikan, padahal jika dihitung mungkin saja nilainya sangat besar.
Hal yang paling sederhana dalam mengurangi kebisingan adalah dengan membeli atau merancang mesin atau peralatan yang tidak menimbulkan suara bising atau tenang. Tentu saja hal ini seringkali tidak mudah diperoleh. Akan tetapi dengan semakin majunya teknologi, sudah banyak mesin atau peralatan yang menggunakan peredam atau sistem yang dapat menurunkan tingkat kebisingan. Akan tetapi belum ada peraturan yang membatasi level kebisingan dari suatu peralatan yang boleh dijual. OSHA sendiri tidak memiliki spesikasi level kebisingan untuk vendor peralatan. OSHA hanya mengatur paparan terhadap kebisingan yang merupakan fungsi dari noise level dan waktu paparan. Maka vendor boleh saja mensuplai mesin dengan tingkat kebisingan 110 dBA atau 130 dBA tanpa melanggar peraturan dari OSHA.
OSHA mengatur kebisingan yang masuk kedalam telinga, biasanya diukur 3-4 feet dari mesin. Jarak pengukuran kebisingan dengan sumber kebisingan sangat penting, jika jarak tidak ditentukan maka pengukuran menjadi tidak bermakna, karena tingkat kebisingan pada jarak 1 inci dari mesin tidak sama dengan tingkat kebisingan pada jarak 20 feet dari mesin. Maka standar atau spesifikasi pengujian tingkat kebisingan yang digunakan harus jelas agar hasil pengukuran dapat diinterpretasikan secara tepat terhadap efek dari kebisingan tersebut. Spesikasi pengujian harus mengandung unsur-unsur berikut:
Referensi metoda pengukuran yang digunakan
Spesikasi level kebisingan
Standar alat ukur level kebisingan
Penyimpangan dari spesifikasi yang diijinkan
Garansi atau sertifikat dari perusahaan pembuat alat ukur yang menyatakan bahwa alat tersebut sesuai dengan standar nasional atau internasional.
Beberapa standar pengukuran kebisingan yang banyak digunakan diantaranya dari ANSI (American National Standard Institute) berikut:
ANSI S1.1-1960 Acoustical Terminology
ANSI S1.2-1971 Method for the Physical Measurement of Sound
ANSI S1.4-1971 (R1976) Specifications for General Purpose
ANSI S1.11-1966 Specifications for Octave Band Analyzers
ANSI S1.13-1971 Methods for the Measurement of Sound Pressure Levels
Secara garis besar ada empat sistem atau metode untuk mengendalikan kebisingan, yaitu:
Isolasi
Absorpsi
Vibrasi isolasi
Vibrasi dumping
Isolasi adalah metode yang paling banyak digunakan. Isolasi adalah pemisahan secara fisik peralatan yang menimbulkan kebisingan dengan peralatan lain atau area kerja. Pemisahan akan menurunkan penggabungan level kebisingan yang berasal dari beberapa mesin yang menjadi sumber kebisingan. Dinding pemisah juga dapat ditempel dengan bahan absorbsi untuk menurunkan level kebisingan secara maksimal. Sifat material pengisolasi suara dinyatakan dengan Transmission Loss (TL). Didalam ASTM E90-61T transmision loss (TL) diformulasikan dengan rumus sebagai berikut:
TL = 20 log (fw) – 47.5 dB
where f = frequency, Hz
w = superficial weight of the material, kg/m2
Untuk tujuan kemudahan ASTM E90-70 telah menentukan atau menstandarkan rating untuk setiap material isolasi yang diproduksi. Sistem rating pada ASTM ini disebut Sound Transmision Class (STC). Makin tinggi nilai STC maka makin tinggi kemampuan material tersebut untuk menurunkan level kebisingan. Namun untuk mendapatkan pengurangan kebisingan yang lebih akurat adalah dengan menghitung nilai TL sesuai rumus diatas.
Metode kedua yang dapat digunakan untuk menurunkan level kebisingan adalah metode absorpsi atau penyerapan suara oleh material tertentu. Energi suara yang diserap oleh material absorpsi akan diubah menjadi energi panas. Material absorbsi yang banyak digunakan adalah material yang berserat (fibrous), ringan dan berongga (porous). Nilai absorpsi suatu material dinyatakan sebagai koefesien absorbsi. Nilai koefesien absorpsi berbagai material dapat diperoleh dari ASTM C-423-66. Kemampuan atau performance suatu material dalam mengabsorpsi dinyatakan dengan Sabin, dimana dirumuskan sebagai berikut:
sabins = a x A
where a = absorption coefficient
A = surface area of absorbing material, ft2
Kebisingan juga dapat disebabkan oleh benda yang bergetar atau getaran. Isolasi terhadap getaran bertujuan untuk mengurangi kebisingan dengan cara memisahkan getaran dengan sumber energinya. Isolasi dapat menggunakan bahan kompresibel-elastis seperti gabus, neoprene, fiber glass, elastomer lainnya, baja pegas/per, dan lain-lain.
Kebisingan yang disebabkan oleh getaran juga dapat dikendalikan dengan menggunakan metode dumping. Dumping adalah bahan yang dapat menyerap energi kebisingan dan mengubahnya menjadi energi panas. Biasanya bahan dumping adalah bahan padatan atau solid yang ditempelkan pada sumber kebisingan. Umumnya bahan dumping dapat menurunkan level kebisingan berkisar antara 10-15 dBA.
Voltile Organic Compound atau lebih dikenal dengan singkatan VOC adalah senyawa yang mengandung karbon yang menguap pada tekanan dan temperatur tertentu atau memiliki tekanan uap yang tinggi pada temperature ruang. VOC yang paling umum dikenal adalah pelarut (solvents), VOC jenis lainnya seperti monomer dan pewangi (fragrance). Kenapa VOC sangat berbahaya dan menjadi perhatian banyak kalangan, sehingga banyak Negara yang membuat peraturan khusus untuk mengurangi dampak dari VOC tersebut. Salah satu sebabnya adalah karena VOCs bereaksi dengan Nitrogen Oksida (NOx) jika terkena sinar matahari membentuk ground level ozone dan asap atau kabut. Pada konsentrasi tertentu di udara, ozone dapat mempengaruhi kesehatan dan lingkungan.
VOC diatur dengan membatasi jumlah kandungannya didalam produk yang dapat teremisi selama proses atau penggunaan. Ada beberapa jenis peraturan yang mengatur pembatasan kandungan VOC seperti consumer product regulations, process regulations, facility regulations or facility permits. Salah satu regulasi yang banyak digunakan atau dijadikan acuanoleh berbagai industri di dunia adalah EPA (Environmetal Protection Agency)
VOC dapat teremisi sebagai gas dari bahan padatan atau cairan yang mengandung VOC. Efek yang ditimbulkan terhadap kesehatan oleh VOC bisa akut atau kronik tergantung dari jenis VOC yang teremisi. Konsentrasi VOC yang teremisi didalam ruangan jauh lebih tinggi jika dibandingkan diluar ruangan karena terjadi akumulasi VOC didalam ruangan tersebut. Misalnya emisi VOC oleh cat baru diaplikasikan didalam ruangan akan sangat terasa baunya bahkan bisa menyebabkan pusing atau perih dimata. Beberapa contoh produk yang mengemisi VOC dan digunakan didalam ruangan adalah cat, bahan pembersih, bahan bangunan dan furnish, mesin fotokopi, tinta, lem, spidol, dan lain-lain.
Efek kesehatan dari VOC diantaranya adalah iritasi pada mata, hidung dan tenggorokkan, sakit kepala atau pusing, kehilangan koordinasi, mual, kerusakan hati, ginjal, dan sistem saraf pusat. Beberapa organik dapat menyebabkan kanker pada hewan, beberapa dicurigai atau diketahui menyebabkan kanker pada manusia. Tanda-tanda kunci atau gejala yang berhubungan dengan paparan VOC termasuk iritasi konjungtiva, ketidaknyaman hidung dan tenggorokan, sakit kepala, reaksi kulit alergi, dispnea, penurunan kadar serum kolinesterase, mual, muntah, epistaksis, kelelahan, dan pusing.
Beberapa cara untuk mengurangi efek dari VOC adalah menambah ventilasi udara ketika terdapat emisi VOC, mengikuti pentunjuk penggunaan pada label, jangan menyimpan kemasan dalam keadaan terbuka, buang bekas kemasan VOC dan jangan menyimpan VOC melebihi kebutuhan.
Consumer products yang mengandung metilen klorida termasuk diantaranya adalah cat, adhesive remover dan cat semprot. Metilen Klorida diketahui dapat menyebabkan kanker pada hewan. Metilen klorida juga dapat terkonversi menjadi karbon monoksida didalam tubuh yang dapat menyebabkan gejala seperti terpajan karbon monoksida. Berhati-hatilah jika menggunakan produk yang mengandung Metilen Klorida, baca instruksi penggunaan yang terdapat pada label atau MSDS secara hati-hati, dan gunakan produk tersebut pada ruangan terbuka.
Benzen juga merupakan salah satu VOC. Benzen dapat menyebabkan kanker pada manusia. Sumber emisi Benzen diantaranya adalah asap rokok, bahan bakar, cat, emisi dari mobil atau motor. Untuk menghindari emisi Benzen maka jangan merokok didalam ruangan atau tempat-tempat umum, siapkan ventilasi yang cukup pada saat pengecatan dan buang bekas kemasan cat atau bahan bakar.
Belum ada standar yang dibuat untuk mengatur emisi VOC untk non industrial, umumnya standar yang ada adalah untuk industrial. OSHA secara spesifik mengatur Formaldehid sebagai bahan yang bersifat karsinogen. OSHA menetapkan nilai ambang batas (permissible exposure level-PEL) untuk formaldehid adalah 0.75 ppm.
Banyak produk-produk yang digunakan dirumah bisa melepaskan atau mengemisi VOC, beberapa contoh diantaranya adalah:
Building Materials
Carpets and adhesives
Composite wood products
Paints
Sealing caulks
Solvents
Upholstery fabrics
Varnishes
Vinyl Floors
Home and Personal Care Products
Air fresheners
Air cleaners that produce ozone
Cleaning and disinfecting chemicals
Cosmetics
Fuel oil, gasoline
Moth balls
Vehicle exhaust running a car in an attached garage
Setiap hari kita terpajan dengan kontaminan yang ada di udara pada saat kita bernapas baik di rumah, di jalan atau selama bekerja. Apalagi bagi yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, hampir mustahil untuk mendapatkan udara bersih tanpa kontaminan. Jenis kontaminan di udara bisa saja dalam bentuk partikel atau gas yang bersifat beracun, patogenik atau irritant ketika terhirup. Untuk mengurangi resiko bahaya dari pajanan kontaminan yang ada di udara maka dapat di gunakan alat perlindungan pernapasan yang disebut repirator atau lebih dikenal dengan nama masker.
Di tempat kerja pada umumnya jenis kontaminan udara adalah debu (dust), uap logam (fume), partikel cairan (mist), uap (vapour) dan gas. Ukuran kontaminan tersebut bervariasi tergantung jenis dan sumber kontaminan, pada umumnya berkisar antara 0.01 – 10000 mikron, mulai dari yang tidak terlihat sampai yang terlihat oleh mata. Semakin kecil ukuran kontaminan di udara akan semakin besar kemungkinan terhirup dan masuk kedalam sistemp pernapasan atau paru-paru. Secara garis besar kontaminan di udara tersebut di kelompok menjadi dua, yaitu partikel dan gas.
Kontaminan Partikel
Yang tergolong kontaminan partikel adalah debu, fume dan mist. Kontaminan ini berbentuk pertikel yang tersuspensi di udara dengan ukuran beragam.
Debu; Terjadi bila bahan padat pecah menjadi partikel kecil yang melayang di udara sebelum akhirnya jatuh karena gravitasi. Debu dihasilkan dari proses spt pengeboran, blasting, sanding, milling, penggerusan atau grinding.
Fume; Fumes terbentuk bila bahan padat menguap pada suhu tinggi kemudian mengembun. Sebagai contoh, uap metal panas menjadi dingin dan mengembun menjadi partikel berukuran sangat kecil, < 1 mikron. Metal fume dapat terjadi dari proses seperti pengelasan dan peleburan logam
Mist; Mists merupakan titik-titik cairan yang sangat halus terbentuk dari suatu bahan melalui proses pengkabutan kemudian pengembunan. Sebagai contoh, proses penyemprotan, pelapisan, pencampuran dan pembersihan
Kontaminan Gas
Yang tergolong gas kontaminan adalah zat atau bahan kimia yang memang sudah berwujud gas pada suhu kamar dan zat dalam bentuk uap.
Gas; Gas merupakan bahan yang bukan cairan maupun padatan pada suhu dan tekanan ruang. Gas dapat berpindah jauh dan cepat dari sumbernya dan bahkan sering tidak terdeteksi.
Uap; Uap merupakan bahan yang menguap dari suatu cairan atau padatan. Sebagai contoh, air yang menguap jika dipanaskan membentuk kelembaban
Efek Kontaminan Udara Terhadap Kesehatan
Efek kontaminan udara jika masuk kedalam system pernapasan sangatlah beragam, mulai dari yang bersifat akut sampai yang bersifat kronis. Beberpa penyakit yang dapat disebabkan oleh kontaminan yang ada di udara adalah:
Efek Partikel:
Iritasi pada hidung, tenggorokan dan jalur pernafasan bagian atas
Partikel lebih kecil dari 5 mikron dapat masuk ke paru-paru bagian dalam dan menyebabkan kerusakan pada tissue paru-paru.
Debu dapat menyebabkan asma, bronchitis, dan kanker paru-paru
Mists dapat menyebabkan iritasi dan korosi pada nassal septum dan jalur pernafasan
Fumes dapat menyebabkan metal fume fever dan tidak berfungsinya sistem syaraf pusat.
Efek Gas dan Uap:
Dapat masuk ke tubuh kita melalui pernafasan, dan terkadang bisa terserap melalui mata dan kulit.
Dapat menyebabkan pusing, mual, tidak berfungsinya sistem syaraf, dan rusaknya fungsi pernafasan
Berpotensi mempengaruhi bagian tubuh lain spt otak, tenggorokan, paru-paru, liver, dan ginjal.
Masker adalah alat yang digunakan untuk mengurangi pajanan bahaya terhadap sistem pernapasan seperti fumes, mists, gases, vapors atau partikel yang berbahaya (OSHA). Ada beberapa jenis masker yang dapat digunakan untuk melindungi pekerja, secara garis besar di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Air-Purifying Respirators (Masker Pemurni Udara)
Air-purifying respirators (APRs) bekerja dengan cara memyaring dan menangkap kontaminan di udara pada saat udara mengalir melalui masker. Kontaminan akan di tangkap oleh filter, cartridges, atau canister. Terdapat banyak jenis filter, cartridges ataupun canister tergantung pada jenis paparan di tempat kerja.
Atmospher-Supplying Respirator (Masker dengan sistem suplai udara)
Sistem ini dengan memberikan suplai udara bersih dengan cara mengambil udara bersih dari luar area yang terkontaminasi dan mengalirkannya ke pekerja yang berada di area kerja atau terkontaminasi. Sistem ini umumnya di gunakan apabila kadar oksigen (oxygen level) diarea kerja di bawah 19.2 %.
Negative and Positive-Pressure Respirator (Masker dengan sistem tekanan positif dan negatif)
Kedua jenis masker diatas dapat menggunakan sistem tekanan positif atau negatif. Untuk sistem tekanan negatif dimana tekanan didalam masker lebih kecil dari luar masker sehingga udara akan mengalir kedalam masker saat bernafas. Tekanan positif adalah sebaliknya.
Material safety data sheet atau dalam SK Menteri Perindustrian No 87/M-IND/PER/9/2009 dinamakan Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) adalah lembar petunjuk yang berisi informasi bahan kimia meliputi sifat fisika, kimia, jenis bahaya yang ditimbulkan, cara penanganan, tindakkan khusus dalam keadaan darurat, pembuangan dan informasi lain yang diperlukan.
Semua bahan kimia berbahaya diwajibkan memiliki MSDS, hal ini diatur dalam berbagai peraturan seperti keputusan menteri Kesehatan nomor 472 tahun 1996, keputusan menteri tenaga kerja nomor 187 tahun 1999, PP 74 tahun 2001 tentang B3 dan keputusan menteri perindustrian no 87 tahun 2009 tentang global harmonize system (GHS).
Didalam OSHA Hazard Communication 29 CFR 1919.1200 juga dinyatakan bahwa pihak manufaktur bahan kimia harus memastikan bahwa semua bahaya bahan kimia yang diproduksi sudah dievaluasi dan memastikan bahwa bahaya tersebut diinformasikan kepengguna bahan kimia tersebut melalui MSDS. Menurut OSHA, yang bertanggung jawab membuat MSDS adalah pihak manufaktur yang memproduksi bahan kimia tersebut. Dan semua pihak-pihak yang berkaitan dengan aliran distribusi bahan kimia tersebut bertanggung jawab menyampaikan MSDS tersebut sampai kepengguna. Bahkan MSDS tersebut harus selalu menyertai bahan kimia tersebut sepanjang pendistribusiannya.
Pembuatan MSDS adalah kewajiban pembuat bahan kimia dan pengguna bahan kimia memiliki hak untuk memperoleh MSDS dari pihak pemasok, meskipun pihak pemasok bukan pembuat atau manufaktur bahan kimia tersebut, namun pihak pemasok berkewajiban menyediakan MSDS dari bahan kimia yang didistribusikan yang dia peroleh dari pihak manufaktur. Pihak perusahaan sebagai pengguna berkewajiban menyediakan MSDS ditempat kerja atau area yang mudah dijangkau atau diketahui oleh pekerja. Pihak perusahaan juga berkewajiban memberikan training mengenai MSDS kepada pekerja agar mereka dapat membaca dan memahami MSDS tersebut.
Kenapa MSDS atau LDKB diperlukan?
MSDS atau LDKB merupakan sumber informasi yang sangat penting mengenai sifat-sifat bahaya bahan kimia yang diggunakan, misalnya sifat mudah terbakar, beracun, korosive, mudah meledak, bersifat reaktif, bahan sensitive dan lain-lain. MSDS juga merupakan sumber informasi cara penanganan jika terjadi kecelakaan dengan bahan kimia tersebut seperti tumpah, keracunan, terkena pada tubuh pekerja dan terhisap serta informasi alat pelindung diri (APD) yang diperlukan saat penanganan atau penggunaan bahan kimia tersebut seperti kacamata safety, respirator dan sarung tangan (glove). Semua informasi tersebut sangatlah penting bagi pengguna untuk menghindari terjadi kecelakaan bahan kimia yang bisa berakibat fatal bagi pengguna.
Persyaratan dan Format MSDS
MSDS harus mengandung informasi semua sifat bahaya yang terkandung didalam bahan kimia tersebut, tidak boleh menyembunyikan dengan sengaja salah satu atau lebih sifat bahaya yang terkandung didalamnya. Bahkan MSDS juga harus mencantumkan ingredient pembentuk produk tersebut, meskipun diijinkan untuk menyembunyikan salah satu atau lebih ingredient (trade secret) yang dianggap penting untuk melindungi kepentingan bisnis perusahaan. Namun pihak perusahaan harus membuka trade secret tersebut kepada pihak pengguna jika dalam keadaan emergency, seperti ada pekerja yang kerancunan dan perlu diketahui bahan apa yang merancuninya berdasarkan permintaan dari dokter yang menanganinya.
Secara umum MSDS harus mengandung:
Identitas semua ingredient yang terkandung <1% jika memiliki sifat bahaya terhadap kesehatan atau jika dapat melepaskan bahan berbahaya melebihi nilai ambang batas (NAB) yang ditentukan.
Bahaya kesehatan termasuk tanda-tanda dan gejala jika terpajan.
Kondisi medis yang terjadi jika terpajan.
Rute utama masuk kedalam tubuh (route of entry)
Bahaya kanker jika ada.
Sifat fisik dan kimia
Batas pajanan (NAB)
Peringatan bahaya
Prosedur pembersihan
Pertolongan pertama atau darurat
Format MSDS sebaiknya mengikuti format global harmonize system (GHS) yang sudah ditetapkan oleh peraturan menteri perindustrian nomor 87 tahun 2009. Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa MSDS harus terdiri dari 16 section dengan urutan sebagai berikut:
Indentifikasi Senyawa (Tunggal atau Campuran)
Identifikasi Bahaya
Komposisi / Informasi tentang Bahan Penyusun Senyawa Tunggal
Informasi lain termasuk informasi yang diperlukan dalam pembuatan dan revisi SDS.
Penggunaan dan Penyimpanan MSDS
Sebagian besar MSDS berbahasa Inggris terutama MSDS bahan kimia yang diimport dari Negara lain, meskipun dalam peraturan pemerintah sudah ditetapkan bahwa semua MSDS harus menggunakan bahasa Indonesia, ini berarti para pemasok dan importir bertanggung jawab menterjemahkan MSDS tersebut kedalam bahasa Indonesia. Penggunaan MSDS dalam bahasa Indonesia memang lebih tepat mengingat sebagian besar pengguna bahan kimia dilapangan (para pekerja) tidak bisa berbahasa Inggris. Jika MSDS yang disediakan dilapangan berbahasa Inggris dan para pekerja tidak memahaminya maka MSDS tersebut menjadi tidak berguna. Maka sebaiknya pihak perusahaan meminta kepada pihak pemasok untuk menyediakan MSDS dalam bahasa Indonesia, jika tidak mungkin maka perusahaan sebaiknya menterjemahkan sendiri MSDS tersebut kedalam bahasa Indonesia sebelum diberikan kepada pengguna dilapangan.
Para pekerja atau pengguna MSDS juga harus diberi training bagaimana menggunakan, membaca, memahami dan menginterpretasikan kandungan MSDS tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam tindakan karena ketidak pahaman terhadap isi MSDS. Tidak semua pekerja memilki latar belakang pendidikan Kimia atau sejenisnya, sehingga banyak sekali pekerja yang tidak memahami istilah-istilah kimia seperti titik didih (boiling point), titik nyala (ignition point), LD50, pH, dan lain-lain.
MSDS juga harus ditempatkan ditempat yang mudah dijangkau atau diketahui oleh semua pekerja, dan sebaiknya dekat dengan tempat penggunaan bahan kimia tersebut, misalnya di gudang penyimpanan, area produksi dan laboratorium. MSDS yang digunakan juga harus dipastikan mutakhir, maka sebaiknya ditanyakan secara berkala kepada pemasok untuk memastikan tidak ada perubahan, dan jika ada perubahan MSDS tersebut maka harap segera diminta yang mutakhir (revisi terakhir).
Selama transportasi atau pengiriman bahan kimia juga harus disertai dengan MSDS, misalnya pada saat bahan kimia tersebut dikirim dengan menggunakan truk container maka MSDS bahan kimia harus dibawa oleh sopir truk bersamaan dengan dokumen pengiriman lainnya. Jangan sekali-kali menyimpan MSDS didalam container atau packaging bahan kimia yang dikirim karena akan sulit untuk diambil jika terjadi kecelakaan.
Jangan mengirimkan MSDS kepada pengguna atau pembeli dengan cara memasukkan MSDS tersebut kedalam kemasan bahan kimia, tetapi dapat dikirim melalui email, fax atau system database menggunakan internet.
OSHA requires the use of personal protective equipment (PPE) to reduce employee exposure to hazards when engineering and administrative controls are not feasible or effective in reducing these exposures to acceptable levels. Employers are required to determine if PPE should be used to protect their workers.
If PPE is to be used, a PPE program should be implemented. This program should address the hazards present; the selection, maintenance, and use of PPE; the training of employees; and monitoring of the program to ensure its ongoing effectiveness.
PPE is addressed in specific standards for the general industry, shipyard employment, marine terminals, and longshoring.
Please click the link below to get the details information from OSHA:
Managing environmental and safety issues in US is challenging, time consuming, and expensive. Harm to people or the environment is difficult to prove so regulations are increasingly designed to eliminate contamination. Effluent standards are based on health effects studies but because of factors such as cancer’s long latency period, and the lack of human exposure data, standards generally include a large safety factor. The environmental manager must recognize that there is little margin for error when it comes to contamination issues. The safety manager is called upon to manage both risk and resources.
Managing hazardous materials generally involves the following four major issues: identification (air and water emissions, rinsewaters, spent raw materials, etc.), storage and handling, disposal and shipping, and recordkeeping. An industrial facility that does not have programs addressing all four of these issues should essentially not be handling hazardous materials.
The environmental and health-safety manager must know what his or her facility is purchasing, generating, storing, treating and disposing of in order to effectively satisfy the “cradle to grave” provisions of RCRA (Resource Conservation and Recovery Act). Good recordkeeping and communication are essential to several key elements of any pollution control and prevention program: emergency procedures, contingency planning and employee training. Pollutant Discharge Elimination System) violation and how large can the spill be before it constitutes a reportable quantity (RQ) under CERCLA (Comprehensive Environmental Response Compensation and Liability Act)?
Well run organizations are those which have established formal Safety and Hazardous Materials Management Programs. These programs establish corporate policy, which addresses pertinent aspects of OSHA (Occupational Safety and Health Act), TSCA (Toxic Substances Control Act), CERCLA, SARA (Superfund Amendments and Reauthorization Act), RCRA, the Hazardous Materials Transportation Act (HMTA), and other applicable regulations. OSHA regulations could be violated because precautions for employee exposure are not taken, SARA could be violated because the requirement for notification of the presence of listed material has not been met, and RCRA regulations could be violated if waste from the material is not stored or disposed of properly.
The Occupational Safety Professional (OSP) must become integrated into all aspects of a facility’s operations. A properly informed OSP helps limit the amount of a hazardous material stored onsite, monitors the use of the material so that right-to-know regulations are not violated, and assesses the rate at which a waste is generated to minimize spill potential and storage and disposal difficulties.
Waste minimization requirements and the land disposal ban are making waste production more expensive. There must be spill containment, supplies for cleanup, controlled access, and segregation of incompatible materials. Both on-the-job training and a written training program are necessary. Fines may result if the training is not properly documented and employees are not tested for competency.
A company cannot control pollution or its hazardous wastes by selling contaminated properties or assets, however, it can certainly add to its liabilities by purchasing contaminated property. Unfortunately, many companies already own contaminated property with projected remedial actions that may cost millions of dollars.
The OSP may be called upon to plan, negotiate, and manage these expensive, and complicated hazardous waste cleanups. Contract documents must be precise and accurate. hazardous material stored onsite, monitors the use of the material so that something goes wrong such as a spill, a fire, or explosion.
(Summary from ENVIRONMENTALAND HEALTH & SAFETY MANAGEMENT – A Guide to Compliance, page 1-3), Nicholas P. Cheremisinoff, Ph.D. Madelyn L. Graffa)
By HSP(Ref: Chemical Process Safety, Roy E Sander)
The OSHA Process Safety Management (PSM) standard should be reviewed to properly develop an MOC procedure. The PSM section addressing “Management of Change” is found in paragraph (l ) of OSHA 1910.119 and states:
The employer shall establish and implement written procedures to manage changes [except for “replacements in kind”] to process chemicals, technology, equipment and procedures; and changes to facilities that affect a covered process.
The procedures shall assure that the following considerations are addressed prior to any change.(i) The technical basis for the proposed change; (ii) Impact of change on safety and health; (iii) Modifications to operating procedures; (iv) Necessary time period for the change; and, (v) Authorization requirements for the proposed change.
Employees involved in operating a process and maintenance and contract employees whose job tasks will be affected by a change in the process shall be informed of, and trained in, the change prior to startup of the process or affected part of the process.
If a change covered by this paragraph results in a change to the process safety information required by paragraph (d) of the section shall be updated accordingly.
If a change covered by this paragraph results in a change to the operating procedures or practices required by paragraph (f ) of this section, such procedures or practices shall be updated accordingly.
The standard also defines “replacement in kind” as a replacement that satisfies the design specification. Appendix C to OSHA 1910.119 is entitled “Compliance Guidelines and Recommendations for Process Safety Management (Nonmandatory).” It serves as a nonmandatory guideline to assist with complying to the standard.
“Managing Change.” To properly manage change to process chemicals, technology, equipment and facilities, one must define what is meant by change. In this process safety management standard, change includes all modifications to equipment, procedures, raw materials and processing conditions other than “replacement in kind.” These changes need to be properly managed by identifying and reviewing them prior to implementation of the change. For example, the operating procedures contain the operating parameters (pressure limits, temperature ranges, flow rates, etc.) and the importance of operating within these limits. While the operator must have the flexibility to maintain safe operation within the established parameters, any operation outside of these parameters requires review and approval by a written management of change procedure.
Management of change covers such as [sic] changes in process technology and changes to equipment and instrumentation. Changes in process technology can result from changes in production rates, raw materials, experimentation, equipment unavailability, new equipment, new product development, change in catalyst and changes in operating conditions to improve yield or quality. Equipment changes include among others change in materials of construction, equipment specifications, piping pre-arrangements, experimental equipment, computer program revisions and changes in alarms and interlocks. Employers need to establish means and methods to detect both technical changes and mechanical changes.
Temporary changes have caused a number of catastrophes over the years, and employers need to establish ways to detect temporary changes as well as those that are permanent. It is important that a time limit for temporary changes be established and monitored since, without control these changes may tend to become permanent. Temporary changes are subject to the management of change provisions. In addition, the management of change procedures are used to insure that the equipment and procedures are returned to their original or designed conditions at the end of the temporary change. Proper documentation and review of these changes is invaluable in assuring that the safety and health considerations are being incorporated into the operating procedures and the process. Employers may wish to develop a form or clearance sheet to facilitate the processing of changes through the management of change procedures. A typical change form may include a description and the purpose of the change, the technical basis for the change, safety and health considerations, documentation of changes for the operating procedures, maintenance procedures, inspection and testing, P&IDs, electrical classification, training and communications, pre-startup inspection, duration if a temporary change, approvals and authorization.
Where the impact of change is minor and well understood, a check list reviewed by an authorized person with proper communication to others who are affected may be sufficient. However, for a more complex or significant design change, a hazard evaluation procedure with approvals by operations, maintenance, and safety departments may be appropriate. Changes in documents such as P&IDs, raw materials, operating procedures, mechanical integrity programs, electrical classifications, etc. need to be noted so that these revisions can be made permanent when the drawings and procedure manuals are updated.
Copies of process changes need to be kept in an accessible location to ensure that design changes are available to operating personnel as well as to PHA team members when a PHA is being done or one is being updated.
The AIChE’s Center for Chemical Process Safety developed a “how to” type of book that addresses most of the concerns of OSHA’s proposed Process Safety Management standard and all of the concerns of Management of Change. This book is useful to the front-line supervisor, the second-level supervisor, superintendent, and the manager of a facility that manufactures, handles, or stores hazardous chemicals. It is for the “on-site” organization that is developing the specific procedures of a Management of Change (MOC) program.
Plant Guidelines for Technical Management of Chemical Process Safety (1992) provides contributions from many participating chemical manufacturers. There are numerous checklists, decision trees, proposed forms, apparently provided by various chemical plants who had an established MOC program. The Chemical Manufacturers Association (CMA) contracted with JBF Associates, Inc., to develop A Manager’s Guide to Implementing and Improving Management of Change Systems. This 100-page booklet, published in 1993, was not intended to be a cookbook, but rather a general guide to define the important features of MOC systems.
Marketing Kami
Kami hadir untuk membantu Anda. Silakan Chat dengan salah satu Account Executive Kami